Dunia Simbolik: Ruang bagi Pemaknaan dan Kesadaran

Victorius Didik Suryo Hartoko(1*),

(1) Universitas Sanata Dharma
(*) Corresponding Author

Abstract


Apa itu ilmu psikologi? Pertanyaan semacam ini cukup lazim di antara akademisi psikologi. Pertanyaan ini terus menerus muncul dalam sejarah psikologi, seolah-olah para peneliti dan akademisi psikologi tidak pernah merasa kerasan tinggal di rumahnya sendiri. Seperti seseorang yang mendiami rumah baru, beberapa tampak asing dan beberapa tampak familiar, namun selalu timbul perasaan ada yang tidak cocok. Orang awam dengan mudah menyebutkan psikologi sebagai ilmu jiwa dengan merunut pada etimologinya, psike, namun para akademisi terombang-ambing antara psikologi sebagai ilmu perilaku dan ilmu mental. Asosiasi psikologi Amerika yang menjadi acuan sebagaian besar akademisi psikologi di Indonesia mendefinisikan psikologi sebagai, ilmu yang meneliti pikiran dan perilaku atau kajian ilmiah terhadap perilaku individu dan proses-proses mentalnya (Perez-Alvarez, 2018).
Kesulitan terutama yang dihadapi untuk menentukan ruang lingkup psikologi salah satunya berasal dari upaya menggambarkan psikologi sebagai ilmu yang dipandang “sejati”, yakni ilmu yang mengikuti kaidah dan norma cara meneliti ilmu alam. Jika psikologi harus beroperasi seperti halnya ilmuwan fisika, data tentang pengalaman subjektif mengenai perjuangan seseorang untuk mencapai kesejahteraan mental maupun berbagai pengalaman psikologis lainnya tidak dapat masuk hitungan. Standard emas menurut pendekatan ini, sering disebut sebagai pendekatan positivisme, adalah gejala yang dapat teramati oleh pihak ketiga. Dan yang paling memenuhi standar ini adalah gejala perilaku, seperti jumlah air liur yang keluar atau jumlah perilaku menginjak pedal di dalam kotak Skinner. Perilaku seperti itu dapat diamati oleh pihak ketiga dan sekaligus dapat dihitung.
Tes-tes prestasi dan tes kemampuan lain dapat digolongkan ke dalam perilaku yang teramati, karena dalam tes semacam itu berapa jumlah soal yang terjawab dengan benar dapat diketahui oleh siapapun. Tes inventori maupun skala sikap meskipun memiliki penampakan yang sama dengan tes prestasi atau kemampuan, dalam standar emas ini kurang dapat diterima karena masih mengandalkan pelaporan diri yang tak dapat diperiksa oleh pihak ketiga. Peneliti yang menggunakan peralatan ini berasumsi bahwa pengakuan testee dapat dipercaya, ketika ia menyatakan bahwa perilakunya sesuai atau tidak sesuai dengan item pernyataan. Namun karena pengakuan itu dapat direpresentasikan dalam derajat angka kesetujuan dan dapat dibandingkan tingkat kesetujuan antar responden, publik akdemik psikologi cenderung dapat menoleransi kelemahan tersebut. Alhasil studi-studi psikologi dipenuhi dengan data-data kuesioner berskala.
Yang tidak mudah diterima oleh arus utama psikologi modern adalah narasi dan pengakuan verbal pihak pertama, si pelaku atau si orang yang mengalami keadaan dan peristiwa yang menjadi topik penelitian. Isi dari pengakuan verbal dan narasi pengalaman tidak dapat disaksikan secara langsung oleh pihak lain. Orang lain hanya dapat merasakan dan membandingkannya dengan perasaan dan gambarannya sendiri. Proses ini memerlukan sikap empatik dan intersubjektivitas peneliti, yaitu sejauh mana narasi dan pengakuan itu dapat menjadi masuk akal di dalam dunia subjektif peneliti atau pendengar lain. Asosiasi psikologi arus utama seperti Asosiasi Psikologi Amerika telah menerima keberadaan penelitian kualitatif sebagai bagian dari praktek disiplin ilmiah psikologi di dalam Divisi 5 Asosiasi Psikologi Amerika: Division for Quantitative and Qualitative Methods (American Psychological Association, 2022). Penerimaan ini tidak serta merta membuat kajian kualitatif dipandang sejajar dengan kajian kuantitatif. Posisinya tetaplah marginal (Kidd, 2002; Rennie, 2012). Keengganan ini selain bersumber dari sifat data yang naratif dan pengakuan diri, juga bersumber dari sifat interpretatif dari analisis data kualitatif yang mengancam generalitas, validitas sekaligus berseberangan dengan gambaran ilmu yang positivistik (Kidd, 2002).
Interpretasi peneliti dalam proses pemerolehan data hingga analisis data kualitatif tidak dapat dihindari. Dunia kesadaran dan pemaknaan hanya dapat terkomunikasikan dengan jelas melalui narasi dan bahasa yang memerlukan penafsiran dari pihak pendengarnya. Bahkan proses interpretasi sudah dimulai ketika pengalaman ataupun peristiwa itu terjadi. Di dalam dunia phenomenal orang berhadapan dengan dunia yang tak terdefinisikan dengan jelas. Si pelaku atau si penderita mencoba menggambarkan apa yang dialaminya dengan kata-kata dan narasi. Ia menerka-nerka apa yang dialaminya dan mencoba menuturkannya dengan perangkat yang dapat dipahami oleh pendengarnya. Demikian juga pendengarnya. Ia mencoba untuk membayangkan apa yang dirasakan dan dialami si pencerita dan sekaligus mengkonseptualisasikannya dalam kosa kata yang dapat dimengerti oleh pembaca, yakni publik ilmiah psikologi. Pemahaman dunia kesadaran dan pemaknaan memerlukan penafsiran yang berujung pada rasa kesamaan pengalaman atau empati (Kendler, 1970). Hampir mirip dengan orang yang membaca novel. Novel yang bagus dinilai dari kemampuannya untuk menginduksi pengalaman yang sama dalam diri pembacanya. Celakanya sebagian besar pengalaman psikologis kita hanya terkomunikasikan melalui medium kata-kata dan narasi. Menolak mode penelitian semacam ini akan membuat banyak hal dari kehidupan kita tidak mendapat tempat dalam dunia psikologi ilmiah.
Kesadaran dan pemaknaan terhadap pengalaman adalah mode sehari-hari orang tinggal di dunia bersama dengan orang lain. Untuk menyatakan kesadaran maupun pemaknaan orang memerlukan simbol-simbol yang diciptakan bersama secara kolektif. Pembedaan manusia dari spesies hewan adalah dunia simbolik tersebut. Cassirer (1987) menyebut manusia sebagai binatang simbolik. Urusan manusia bukan hanya terarah pada dunia alamiah tetapi terutama pada dunia simbolik ciptaannya sendiri yang dimaksudkan untuk menggambarkan dunia alamiah di luar sana maupun dunia perasaan dan imajinasi di dalam diri sendiri. Bahasa dan simbol menjadi penghubung antar manusia maupun penghubung antara manusia dengan dunia alamiahnya (baik dunia eksternal maupun dunia internalnya). Dunia simbolik tersebut merupakan rekayasa kolektif atau kebudayaan. Pengalaman pribadi sekalipun tak dapat terpahami oleh diri sendiri jika tidak melewati dunia simbolik tersebut. Dengan kata lain pemahaman diri sendiri atas kehidupan sekaligus merupakan pemahaman bersama melalui kegiatan berbicara dan bercerita (Bruner, 2004).
Ruang lingkup psikologi tidak bisa dibatasi hanya pada dunia mental phenomenal maupun perilaku individu, seperti yang didefinisikan oleh APA tetapi merentang dari rasa kebertubuhannya hingga dunia semiotik / simbolik yang bersifat kolektif dan kultural. Henriques (1983; 2004) menggambarkan psikologi sebagai dunia antara ilmu-ilmu biologi dan ilmu-ilmu kemanusiaan kultural. Individu yang menjalani kehidupan tinggal dalam tiga dunia secara simultan: dunia tubuhnya, dunia psikologisnya dan dunia sosial-kulturalnya (Perez-Alvarez, 2018). Freud (1949) menggambarkan dunia mental manusia baik yang disadari maupun tidak disadarinya dengan mengacu pada tiga dunia tersebut secara sekaligus yakni id (dunia tubuh dengan segala gambaran mengenai nafsu maupun dorongannya), ego (rasa kedirian dan individualitas) dan super ego, yang secara harafiah berarti dunia diatas ku, yaitu dunia sosial dan kultural yang termediasi melalui kehadiran orangtua. Kehidupan seseorang tidak terbayangkan tanpa ketiga dunia tersebut. Pengalaman badaniah selalu akan mewarnai rasa kedirian seseorang baik sebagi pelaku (agen) maupun sebagai penderita (orang yang merasakan pengalaman) dan perasaan kedirian itu selalu mengandaikan adanya kehidupan bersama orang lain.
Jika psikologi akademis memiliki komitmen terhadap kenyataan ini mau tak mau dunia akademis psikologi akan memeluk pluralitas epistemologis-metodologis maupun ontologis ini. Artikel pertama dalam edisi ini yang berjudul “Analisis Statistika dalam Riset-Riset Psikologi Komunikasi: Sebuah Studi Literatur” mencoba memetakan kecenderungan metodologis para peneliti ketika meniliti dunia komunikasi. Artikel kedua, “Hubungan antara Regulasi Diri dengan Fear of Missing Out pada Mahasiswa Pengguna Media Sosial” memperlihatkan keterkaitan dunia internal dengan dunia sosial yang menjadi habitat kehidupan seseorang. Upaya untuk mendeskripsikan dunia phenomenal dengan memanfaatkan cerita maupun dunia simbolik kata tampak dalam dua artikel berikutnya yang berjudul: “Dinamika Meaning Making Process pada Emerging Adulthood dengan Riwayat Adverse Childhood Experiences dan Non Suicidal Self Injury”, serta “Analisis Tematik Kebahagiaan pada Milenil Kelas Menengah”. Kedua artikel tersebut menggunakan metode penelitian kualitatif. Artikel kelima yang berjudul “Efek Stress terhadap False Memory Recall dan Recognition”, memperlihatkan bagaimana proses pemaknaan yang terepresentasikan dalam false memori bersifat kokoh dan tidak terganggu oleh kehadiran stres. Artikel keenam, “Keterikatan Kerja dan Intensi Turnover pada Karyawan Generasi Y” menunjukkan intensi seseorang tidak dapat dilepaskan dari pengalamannya. Keragaman topik dan metodologis dari berbagai artikel tersebut dapat ditawarkan sekaligus pada para pembaca karena komitmen Jurnal ini terhadap pluralitas epistemologis-metodologi maupun ontologis, sepanjang mengacu pada tiga dunia tempat habitat manusia. Selamat Membaca!


Full Text:

PDF

References


American Psychological Association (2022). APA Divisions Professional Homes Organized by Members. https://www.apa.org/about/division/index?_ga=2.20660088.1195493822.1666591838-480241096.1666591838. Accessed 24 Oktober 2022

Bruner, J. (2004). Life as narrative. Social Research, 71(3): 691-710

Cassirer, E. (1987). Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai tentang Manusia. PT. Gramedia.

Freud, S. (1949). An Outline of Psychoanalysis. W.W. Norton & Company

Henriques, G. (2003). The tree of knowledge system and the theoretical unification of psychology. Review of General Psychology, Vol. 7, No. 2, 150–182.

Henriques, G. (2004). Psychology defined. Journal Of Clinical Psychology, Vol. 60(12), 1207–1221

Kendler, H. (1970). The unity of psychology. The Canadian Psychologist. 11 (1): 30-47

Kidd, S. (2002). The role of qualitative research in psychological journals. Psychological Methods. Vol. 7, No. 1, 126–138

Perez-Alvarez, M. (2018). Psychology as a science of subject and comportment, beyond the mind and behavior. Integrative Psychological and Behavioral Science, 52 (1), 25-51.

Rennie, D. L. (2012). Qualitative research as methodical hermeneutics. Psychological Methods. Vol. 17, No. 3, 385–398.




DOI: https://doi.org/10.24071/suksma.v3i2.5284

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Web Analytics

View My Stats