Moral Ateisme-Humanisme Paul Kurtz vs Divine Commandments

Vincensius Coba Ceme a,1

a Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

 

1vinsenzianochend@gmail.com

 

 

KEYWORDS:

Ateisme, Paul Kurtz,

Divine Commandments, Moral

ABSTRACT

This article examines Paul Kurtz's thoughts on morality in the context of atheistic humanism, which asserts that humans can uphold goodness and moral values without reference to God. Kurtz argues that morality can stem from human rationality and experience. This article aims to critique this view by showing that without God, the motivation to act morally becomes less convincing for many people. Furthermore, this article will compare Kurtz's views with Divine Command Theory, which states that the existence of God provides an objective and stable foundation for morality. Therefore, while some individuals may live morally without belief in God, this article argues that the existence of God is a stronger and epistemologically secure foundation for moral values. Through this analysis, the author directs the purpose of the article towards exploring the depth and limitations of atheistic humanism morality compared to the theistic perspective on the source of morality.

 

 ABSTRAK

Tulisan ini mengkaji pemikiran Paul Kurtz tentang moralitas dalam konteks ateisme-humanisme, yang menegaskan bahwa manusia dapat mempertahankan kebaikan dan nilai-nilai moral tanpa perlu mengacu pada Allah. Kurtz berpendapat bahwa moralitas dapat bersumber dari rasionalitas dan pengalaman manusia itu sendiri. Tulisan ini ingin memberikan kritik akan pandangan tersebut dengan menunjukkan bahwa tanpa Allah, motivasi untuk berbuat moral menjadi kurang meyakinkan bagi banyak orang. Lebih lanjut, tulisan ini juga akan membandingkan pandangan Kurtz dengan Divine Command Theory, yang menyatakan bahwa keberadaan Allah menyediakan dasar yang objektif dan stabil untuk moralitas. Oleh karena itu, kendati beberapa individu mungkin hidup secara moral tanpa kepercayaan kepada Allah, tulisan ini berpendapat bahwa keberadaan Allah merupakan fondasi yang lebih kuat dan epistemologis terjamin untuk nilai-nilai moral. Melalui analisis ini, penulis lebih mengarahkan tujuan tulisannya pada eksplorasi kedalaman dan batasan moralitas ateisme-humanisme dibandingkan dengan pandangan teistik tentang sumber moralitas.

 

 

1.    PENDAHULUAN

Beberapa bulan yang lalu, penulis menonton sebuah video menarik di YouTube. Video tersebut berisikan perdebatan antara Paul Kurtz dan Lane Craig. Tema utama perdebatan adalah “Goodness Without God is Good Enough?” Sebuah tema yang sangat menggugah dan membuat penulis berdiam sejenak merefleksikannya. Dapatkan kita menjadi baik tanpa Allah? Apakah kebaikan tanpa Allah sudah cukup? Sekilas pertanyaan di atas cukup menggelitik bahkan terkesan sombong dan bodoh. Jawaban atas pertanyaan tersebut awalnya tampak sangat jelas. Orang yang beriman akan menjawab, tentu saja kebaikan tanpa Allah tidaklah cukup, sehingga mengajukan pertanyaan ini saja sudah menimbulkan kemarahan. Karena Allah adalah sumber kekuatan moral dan tekad yang memampukan kita untuk menjalani kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan yang seharusnya kita jalani tanpa Dia. Namun tidak berarti bahwa orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan kepada Allah tidak sering menjalani kehidupan bermoral yang baik. Banyak pula orang yang tidak beragama melakukan perbuatan baik. Berangkat dari realitas di atas, penulis akan mendalami dan mengkritisi pemikiran Paul Kurtz tentang Moral Ateisme-Humanisme. Paul Kurtz merupakan seorang filsuf humanisme sekuler yang berpendapat “Morality and moral behavior do not depend on divine commandments. Menurutnya, manusia dapat menjadi orang baik dan bermoral tanpa Allah.

2.    BIOGRAFI PAUL KURTZ 

Paul Winter Kurtz lahir pada 21 Desember 1925 di Newark, New Jersey, Amerika Serikat. Dia berasal dari sebuah keluarga Yahudi, putra dari Sara Lasser dan Martin Kurtz. Tahun 1948 Kurtz menerima gelar sarjananya di Universitas New York dan Gelar master diperolehnya pada tahun 1949 di Universitas Columbia. Tahun 1952, Kurtz menerima gelar Doktor Filsafat di Universitas Colombia dengan disertasi berjudul “The Problems of Value Theory”. Paul Kurtz adalah seorang penerbit, filsuf, pendidik, dan penulis yang terkenal karena promosinya terhadap humanisme sekuler, sebuah sistem pemikiran yang mencakup “metode penyelidikan, pandangan dunia kosmik, pendirian hidup, dan seperangkat nilai sosial.”[1]

Paul Kurtz adalah salah seorang tokoh sekuler humanis yang mempunyai latar belakang dalam bidang pendidikan filsafat. Ia mendapat julukan “Bapak Sekuler Humanisme”. Tahun 2000, ia menerima penghargaan Rasionalis Internasional dari International of Rasionalists. Kemudian tahun 2001, ia diperdebatkan dengan William Lane Craig (seorang filosof Kristen), mengenai hakikat moralitas. Kurtz juga sebagai seorang Professor filsafat di Universitas New York di Buffalo dari tahun 1961 sampai dengan 1965, setelah sebelumnya juga mengajar di Vassar, Trinity College, dan Union College, serta New School for Social Research.[2] Paul Kurtz meninggal pada 20 Oktober 2012 di Amrherst, New York, Amerika Serikat.

3.    PEMIKIRAN PAUL KURTZ: HUMANISME SEKULAR

Paul Kurtz mempunyai peran penting dalam mengembangkan humanis sekuler. Untuk mempromosikan humanisme melalui tulisan, ia mendirikan Prometheus Books di tahun 1969, yang merupakan penerbit besar pertama pemikiran humanis, ikut mendirikan Skeptical Inquirer, dan telah menyunting majalah Free Inquiry Magazine sejak tahun 1980.[3] Dalam mempromosikan humanisme, Kurtz percaya bahwa dirinya mengikuti Socrates, Mill, dan Kant dalam mengejar filosofi rasional yang secara kritis memeriksa kepercayaan tradisional.[4] Pendekatan humanisme sekuler Kurtz adalah keyakinan bahwa manusia memiliki kapasitas secara mandiri untuk menjadi orang baik dan bermoral tanpa membutuhkan keberadaan Allah atau juga tanpa percaya pada Allah. 

Baru-baru ini, Kurtz melanjutkan Manifesto Humanis pertama, yang berusaha memberikan “pernyataan baru tentang sarana dan tujuan agama” tanpa perlu Tuhan.[5] Dia mengklaim bahwa bukti-bukti klasik untuk keberadaan Tuhan tidak memadai. Selain itu, ia mengatakan bahwa para kaum teistik bahkan tidak dapat mendefinisikan siapa Tuhan itu, karena Tuhan melampaui pemahaman.[6] Kurtz menyimpulkan dengan mengatakan bahwa “Sumber utama dari godaan transendental adalah kecenderungan untuk berpikir magis dan kesediaan untuk menerima keampuhannya.”[7] Dia menegaskan bahwa orang sering percaya pada hal-hal mistis dan religius, karena mereka tidak mengetahui penyebab sebenarnya yang bekerja. Mereka  justru memanjakan diri dengan anggapan bahwa ada penyebab supernormal yang tidak dapat diketahui.

Menurut Kurtz moralitas teistik gagal terlepas dari keberadaan Tuhan. Baginya, etika transendental adalah cacat, karena "etika yang murni transendental, yang tidak terkait dengan apapun yang mengandung unsur manusiawi, tidak akan ada artinya, karena ia akan kosong dari rujukan empiris dan tidak relevan dengan kepentingan atau kebutuhan manusia."[8] Tuhan tidak diperlukan untuk menjelaskan rasa moral kewajiban. Kurtz pun mempertanyakan, "Apakah seseorang bermoral jika ia melakukan sesuatu atau menahan diri untuk tidak melakukannya hanya karena Allah menghendakinya dan bukan karena alasan lain?"[9]

Kurtz mengklaim bahwa ketaatan karena takut akan murka Allah adalah "tidak bermoral, karena hal itu meninggalkan hati nurani moral demi sebuah dasar yang otoriter, dan dengan demikian menghindari isi dari keharusan moral itu sendiri."[10] Sebaliknya, kewajiban berasal dari pengalaman manusia bahwa “harus ada aturan yang mengatur harapan dan kewajiban” untuk memungkinkan "transaksi sosial yang harmonis." Kurtz menambahkan bahwa manusia taat bukan hanya karena kepentingan diri sendiri, tetapi juga karena kepentingan sosial, yang merupakan rasa belas kasihan terhadap orang lain.[11] Dalam bukunya yang berjudul Forbidden Fruit: The Ethics of Secularism, Kurtz mengatakan bahwa moral berakar pada kebiasaan dan perasaan manusia. 

 Kurtz percaya bahwa orang-orang ateis harus mengambil pandangan positif dari kehidupan. Menurutnya, moral merupakan sesuatu yang inheren dalam diri atau perasaan manusia karena itu perlu untuk dikembangkan dan dipelajari, bukan tergantung pada sesuatu di luar diri manusia, seperti Allah. Perbuatan moral seseorang yang dilakukan tanpa kepercayaan pada Allah merupakan perbuatan moral yang jauh lebih baik dibandingkan dengan perbuatan moral seseorang yang percaya pada Allah. Mengapa demikian? Karena tindakan moral tersebut muncul dari hati yang tulus, tanpa perlu iming-iming atau ketakutan atas ancaman akan surga atau neraka.

4.    MORAL: DIVINE COMMAND THEORY

Menurut Kurtz, moralitas dan perilaku moral tidak bergantung pada perintah-perintah ilahi. Pandangan ini dipegang oleh kebanyakan orang di zaman sekarang, khususnya di Indonesia. Kendati tidak secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka dapat menjadi orang baik tanpa Allah. Namun demikian, bagaimana mereka dapat mengetahui bahkan menjustifikasi bahwa apa yang mereka lakukan merupakan tindakan yang baik dan bukan jahat? Kiranya hal tersebut menjadi masalah utama dari penyataan di atas yaitu untuk menjustifikasi perbuatan moral. William Lane Craig sadar akan letak permasalahan tersebut ketika ia berdebat dengan Paul Kurtz. Menurut Craig, “We are not talking about goodness without belief in God, but rather goodness without God.”[12] Oleh karena itu, masalahnya tidak sekadar berbuat baik tanpa percaya pada Allah, tetapi menjustifikasi perbuatan baik itu sendiri tanpa Allah. Craig memetakan argumentasi moral bagi keberadaan Allah sebagai berikut: (1) Jika Tuhan tidak ada, maka nilai-nilai dan tugas-tugas moral yang objektif tidak ada; (2) nilai-nilai dan tugas-tugas moral yang objektif ada; (3) oleh karena itu, Tuhan itu ada.[13] Sebenarnya, keberadaan Allah dapat dapat diindikasikan melalui keberadaan moral di dunia.

Norman L. Geisler menegaskan hal tersebut dengan mengatakan, "Etika Kristen sesuai dengan teori perintah ilahi, di mana tugas-tugas etis dipandang sebagai perintah ilahi yang harus kita ikuti. Penting untuk dicatat bahwa perintah-perintah etis Allah selaras dengan karakter moral-Nya yang tidak dapat diubah".[14] Divine Command Theory mengindikasikan bahwa fondasi dan objektivitas moral membutuhkan keberadaan Allah.  Dia bukan hanya ada, melainkan juga mewahyukan perbuatan bermoral kepada manusia, dan perbuatan itu sesuai dengan karakter moral-Nya. Salah satu hal yang menarik adalah apa yang dikatakan John E. Hare, “That moral goodness without belief in God is rationally unstable.[15] Namun, Hare juga tidak menutup kemungkinan bahwa ada orang yang hidup bermoral meskipun secara rasional tidak stabil.  

5.    PENUTUP

Humanisme sekular Paul Kurtz menunjukkan bahwa pandangan moralnya bersifat ateistis. Ia menolak keberadaan Allah sebagai objektivitas moral dan menekankan pada tujuan dari perbuatan moral, yakni dampaknya untuk manusia. Kenyataannya, pandangan moral Kurtz tidak dapat memberikan alasan yang masuk akal dan koheren bagi semua orang untuk dapat menjadi orang yang baik tanpa Allah. Apabila, orang ateis berpandangan seseorang dapat menjadi baik tanpa Allah, lalu mengapa manusia wajib atau harus menjadi orang yang baik? Seandainya mereka menjawab untuk kebahagiaan atau kesejahteraan, maka jawaban tersebut bermasalah. Karena, perbuatan baik yang dilakukan dengan motivasi supaya pelaku moralnya mendapat kebahagiaan atau kesejahteraan bukanlah “perbuatan baik” yang benar-benar baik.

 Sedangkan, melalui pembelaan dari pandangan moral berdasarkan Divine Command Theory, orang teistik teristimewa Kristen tahu alasan yang koheren, konsisten, dan masuk akal atas fondasi dan objektivitas moral bagi kehidupan bermoral. Manusia dapat berbuat baik apabila Allah ada, dan Dia memberikan perintah atau perbuatan moral (epistemologis), dan perbuatan moral itu sesuai dengan karakter moral Allah (ontologis). Namun, perlu juga mengakui bahwa ada orang yang hidup bermoral atau berbuat baik tanpa percaya pada Allah, tetapi kehidupan bermoral seperti itu secara rasional tidak stabil. Hal ini mengartikan bahwa orang tersebut tidak dapat memberikan sebuah pembelaan yang masuk akal akan kehidupan moral tanpa Allah. Dengan demikian, Allah merupakan fondasi sekaligus sumber epistemologi yang terjamin bagi sebuah perbuatan moral. Dia adalah sebuah keniscayaan secara ontologis bagi adanya keberadaan moral dan juga nilai objektivitasnya. 

DAFTAR PUSTAKA

Bullough, Vern L., “Foreword” dalam Paul Kurtz. Toward a New Enlightenment: The Philosophy of Paul Kurtz. Diedit oleh Vern L. Bullough dan Timothy J. Madigan, ix - xii. New Brunswick: Transaction Publishers, 1994.

Craig, William Lane. Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, ed. ke-3, Wheaton: Crossway, 2008.

Geisler, Norman L. Christian Ethics: Contemporary Issues and Options, ed. ke-2, Grand Rapids: Baker, 2010.

Hare, John E. “Is Moral Goodness without Belief in God Rationally Stable?” dalam Is Goodness Without God Good Enough? A Debate on Faith, Secularism, and Ethics. Diedit oleh Robert K. Garcia dan Nathan L. King, 85 - 100. Lanham: Rowman & Littlefield, 2009.

Kurtz, Paul, What is Secular Humanism? Amherst, NY: Prometheus Books, 2007.

Kurtz, Paul. (ed.).  Humanist Manifestos I dan II. Buffalo, NY: Prometheus Books, 1973.

Kurtz, Paul. Forbidden Fruit: The Ethics of Humanism. Buffalo, NY: Prometheus Books,1988.

Kurtz, Paul. Living without Religion: Eupraxophy. Amherst, NY: Prometheus Books, 1994.

Kurtz, Paul. The Transcendental Temptation. Buffalo, NY: Prometheus Books, 1986.

Magee, Brian. “Humanists Mourn Death of Paul Kurtz, Humanist Philosopher and Advocate”. American Humanist Association (AHA News). Diakses dari dihttp://americanhumanist.org. pada 3 Desember 2023.

 

 

 

 

 

 



[1] Paul Kurtz, Living without Religion: Eupraxophy (Amherst, NY: Prometheus Books, 1994), 13.

[2] Brian Magee. “Humanists Mourn Death of Paul Kurtz, Humanist Philosopher and Advocate”. American Humanist Association (AHA News) diakses dari dihttp://americanhumanist.org. pada 3 Desember 2023.

[3] Vern L. Bullough, “Foreworddalam Paul Kurtz. Toward a New Enlightenment: The Philosophy of Paul Kurtz diedit oleh Vern L. Bullough dan Timothy J. Madigan (New Brunswick: Transaction Publishers, 1994), ix.

[4] Kurtz, Toward a New Enlightenment, 1-2; Paul Kurtz, What is Secular Humanism?, (Amherst, NY: Prometheus Books, 2007), 10-12.

[5] Paul Kurtz, ed., Humanist Manifestos I dan II (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1973), 7-8.

[6] Paul Kurtz, The Transcendental Temptation (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1986), 315.

[7] Paul Kurtz, The Transcendental Temptation, 449.

[8] Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The Ethics of Humanism (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1988), 22.

[9] Paul Kurtz, Forbidden Fruit, 40.

[10] Paul Kurtz, Forbidden Fruit, 149.

[11] Paul Kurtz, Forbidden Fruit, 153-154.

[12] William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, ed. ke-3, (Wheaton: Crossway, 2008), 172.

[13] William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 172. 

[14] Norman L. Geisler, Christian Ethics: Contemporary Issues and Options, ed. ke-2, (Grand Rapids: Baker, 2010), 15.

[15] John E. Hare, “Is Moral Goodness without Belief in God Rationally Stable?” dalam Is Goodness Without God Good Enough? A Debate on Faith, Secularism, and Ethics, diedit oleh Robert K. Garcia dan Nathan L. King (Lanham: Rowman & Littlefield, 2009), 85.